Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman yang maksudnya:
“Katakanlah, ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, nescaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu’. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (Ali Imran: 31)
• Rasulullah SAW bersabda yang maksudnya:”Tidaklah beriman (secara sempurna) salah seorang dari kamu sehingga aku lebih ia cintai daripada orangtuanya, anaknya dan segenap manusia.” (HR. Al-Bukhari)
• Ayat di atas menunjukkan bahawa kecintaan kepada Allah adalah dengan mengikuti apa yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Mentaati apa yang beliau perintahkan dan meninggalkan apa yang beliau larang, menurut hadis-hadis shahih yang beliau jelaskan kepada umat manusia. Tidaklah kecintaan itu dengan banyak bicara dengan tanpa mengamalkan petunjuk, perintah dan sunnah-sunnah beliau.
• Adapun hadis shahih di atas, ia mengandungi pengertian bahawa iman seseorang muslim tidak sempurna, sehingga ia mencintai Rasulullah SAW melebihi kecintaannya terhadap anak, orang tua dan segenap manusia, bahkan – sebagaimana ditegaskan dalam hadis lain – hingga melebihi kecintaannya terhadap dirinya sendiri.
Pengaruh kecintaan itu tampak ketika terjadi pertentangan antara perintah-perintah dan larangan-larangan Rasulullah SAW dengan hawa nafsunya, keinginan isteri, anak-anak serta segenap manusia di sekelilingnya. Jika ia benar-benar mencintai Rasulullah SAW, ia akan mendahulukan perintah-perintahnya dan tidak menuruti kehendak nafsunya, keluarga atau orang-orang di sekelilingnya. Tetapi jika kecintaan itu hanya dusta belaka maka ia akan mendurhakai Allah dan RasulNya, lalu menuruti syaitan dan hawa nafsunya.
• Jika anda menanyakan kepada seorang muslim, “Apakah anda mencintai Rasulullah SAW?” Ia akan menjawab, “Benar, aku korbankan jiwa dan hartaku untuk beliau.” Tetapi jika selanjutnya ditanyakan, “Kenapa anda mencukur janggut dan melanggar perintahnya dalam masalah ini dan itu, dan anda tidak meneladaninya dalam penampilan, akhlak dan ketauhidan Nabi?”
Dia akan menjawab, “Kecintaan itu letaknya di dalam hati. Dan alhamdulillah, hati saya baik.” Kita mengatakan padanya, “Seandainya hatimu baik, nescaya akan tampak secara lahiriah, baik dalam penampilan, akhlak mahupun ketaatanmu dalam beribadah mengesakan Allah semata. Sebab Rasulullah SAW bersabda yang maksudnya:
“Ketahuilah, sesungguhnya di dalam jasad itu terdapat segumpal daging. Bila ia baik maka akan baiklah seluruh jasad itu, dan bila ia rosak maka akan rosaklah seluruh jasad itu. Ketahuilah, ia adalah hati.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
• Suatu kali, ada orang bersilaturrahim kepada seorang doktor muslim. Orang itu melihat banyak gambar orang laki-laki dan perempuan digantung di dinding. Orang itu lalu mengingatkannya dengan larangan Rasulullah SAW dalam soal memasang gambar-gambar. Tetapi ia menolak sambil mengatakan, “Mereka kawan-kawan saya di universiti.”
Padahal sebahagian besar dari mereka adalah orang-orang kafir. Apalagi para wanitanya yang memperlihatkan rambut dan perhiasannya di dalam gambar tersebut, dan mereka berasal dari negara komunis. Sang doktor ini juga mencukur janggutnya. Orang itu berusaha menasihati, tetapi ia malah bangga dengan dosa yang ia lakukan, seraya mengatakan bahawa ia akan mati dalam keadaan mencukur janggut.
Suatu hal yang menghairankan, doktor yang melanggar ajaran-ajaran Rasulullah SAW tersebut mengaku bahawa ia mencintai Nabi. Kepada orang itu ia berkata, “Katakanlah wahai Rasulullah, aku ada dalam perlindunganmu!”
Dalam hati orang itu berkata, “Engkau mendurhakai perintahnya, bagaimana mungkin akan masuk dalam perlindungannya. Dan, apakah Rasulullah SAW akan rela dengan syirik tersebut? Sesungguhnya kita dan Rasulullah SAW berada di bawah perlindungan Allah semata.”
• Kecintaan kepada Rasulullah SAW adalah tidak dengan menyelenggarakan peringatan, pesta, berhias, dan menyenandungkan syair yang tak akan lepas dari kemungkaran. Demikian pula tidak dengan berbagai macam bid’ah yang tidak ada dasarnya dalam ajaran syariat Islam. Tetapi, kecintaan kepada Rasulullah SAW adalah dengan mengikuti petunjuknya, berpegang teguh dengan sunnahnya serta dengan menerapkan ajaran-ajarannya.
Sungguh, alangkah indah ungkapan penyair tentang kecintaan sejati di bawah ini.
“Jika kecintaanmu itu sejati,nescaya engkau akan mentaatinya.
Sesungguhnya seorang pecinta, kepada orang yang dicintainya akan selalu taat setia.”
KEUTAMAAN MEMBACA SHALAWAT UNTUK NABI
Allah Swt berfirman yang maksudnya: “Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikatNya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (Al-Ahzab: 56)
Imam Al-Bukhari meriwayatkan, Abu ‘Aliyah berkata, “Shalawat Allah adalah berupa pujianNya untuk nabi di hadapan para malaikat. Adapun shalawat para malaikat adalah doa (untuk beliau).”
Ibnu Abbas berkata, “Bershalawat ertinya mendoakan supaya diberkati.”
Maksud dari ayat di atas, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya iaitu, “Sesungguhnya Allah Subhannahu wa Ta’ala menggambarkan kepada segenap hambaNya tentang kedudukan seorang hamba-Nya, Nabi dan kekasihNya di sisiNya di alam arwah, bahawa sesungguhnya Dia memujinya di hadapan para malaikat. Dan sesungguhnya para malaikat bershalawat untuknya. Kemudian Allah memerintahkan kepada penghuni alam dunia agar bershalawat untuknya, sehingga berkumpullah pujian baginya dari segenap penghuni alam semesta.”
1. Dalam ayat di atas, Allah memerintahkan kita agar mendoakan dan bershalawat untuk Rasulullah SAW. Bukan sebaliknya, memohon kepada beliau, sebagai sesembahan selain Allah, atau membacakan Al-Fatihah untuk beliau, sebagaimana yang dilakukan oleh sebahagian manusia.
2. Bacaan shalawat untuk Rasulullah SAW yang paling utama adalah apa yang beliau ajarkan kepada para sahabat, ketika beliau bersabda maksudnya:
“Katakanlah, Ya Allah limpahkanlah rahmat untuk Muhammad dan keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah melimpahkan rahmat untuk Ibrahim dan keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia. Ya Allah, limpahkanlah berkah untuk Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau telah melimpahkan berkah untuk Ibrahim dan keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia.” (HR Al-Bukhari dan Muslim)
3. Shalawat di atas, juga shalawat-shalawat lain yang ada di dalam kitab-kitab hadis dan fiqih yang terpercaya, tidak ada yang menyebutkan kata “sayyidina” (penghulu kita), yang hal itu ditambahkan oleh kebanyakan manusia.
Memang benar, bahawa Rasulullah SAW adalah penghulu kita, “sayyiduna”, tetapi berpegang teguh dengan sabda dan tuntunan Rasul adalah wajib. Dan, ibadah itu dilakukan berdasarkan keterangan nash syarak, tidak berdasarkan akal.
4. Rasulullah SAW bersabda yang maksudnya: “Jika kalian mendengar muadzin maka ucapkanlah seperti apa yang ia ucapkan, kemudian bershalawatlah untukku. Kerana sesungguhnya barangsiapa yang bershalawat untukku satu kali, Allah akan bershalawat untuknya sepuluh kali. Kemudian mohonkanlah kepada Allah wasilah untukku. Sesungguhnya ia adalah suatu tempat (darjat) di Syurga. Ia tidak lebih kecuali untuk seorang hamba dari hamba-hamba Allah. Aku berharap bahawa hamba itu adalah aku. Barangsiapa memintakan wasilah untukku, maka ia berhak menerima syafaatku.” (HR. Muslim)
Doa memintakan wasilah seperti yang diajarkan Rasulullah SAW dibaca dengan suara perlahan. Ia dibaca sesudah azan dan setelah membacakan shalawat untuk Nabi. Doa yang diajarkan beliau iaitu maksudnya:
“Ya Allah, Tuhan yang memiliki seruan yang sempurna ini. Dan shalat yang akan didirikan. Berikanlah untuk Muhammad wasilah (darjat) dan keutamaan. Dan tempatkanlah ia di tempat terpuji sebagaimana yang telah Engkau janjikan.” (HR. Al-Bukhari)
5. Membaca shalawat atas Nabi ketika berdoa, sangat dianjurkan. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW yang bermaksud:
“Setiap doa akan terhalang, sehingga disertai bacaan shalawat untuk Nabi SAW.” (HR. AI-Baihaqi, hadis hasan)
Rasulullah SAW bersabda yang maksudnya: “Sesungguhnya Allah memiliki malaikat yang berpetualang di bumi, mereka menyampaikan kepadaku salam dari umatku.” (HR Ahmad, hadis shahih)
Bershalawat untuk Nabi SAW sangat dianjurkan, terutama pada hari Jumaat. Dan ia termasuk amalan yang paling utama untuk mendekatkan diri kepada Allah. Bertawassul dengan shalawat ketika berdoa adalah dianjurkan. Sebab ia termasuk amal shalih. Kerana itu, sebaiknya kita mengucapkan, “Ya Allah, dengan shalawatku untuk Nabimu, bukakanlah dariku kesusahanku…
Semoga Allah melimpahkan berkah dan keselamatan untuk Muhammad dan keluarganya.”
SHALAWAT-SHALAWAT BID’AH
Kita banyak mendengar lafaz-lafaz bacaan shalawat untuk Nabi SAW yang diada-adakan (bid’ah) yang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah SAw, para sahabat, tabi’in, juga tidak oleh para imam mujtahid. Tetapi semua itu hanyalah buatan sebahagian masyayikh (para tuan guru) di kurun kebelakangan ini. Lafaz-lafaz shalawat itu kemudian menjadi terkenal dikalangan orang awam dan ahli ilmu, sehingga mereka membacanya lebih banyak daripada membaca shalawat tuntunan Rasulullah SAW. Bahkan mungkin mereka malah meninggalkan lafaz shalawat yang benar, lalu menyebarluaskan lafaz shalawat ajaran para syaikh mereka.
Jika kita renungkan dengan lebih mendalam makna shalawat-shalawat tersebut, nescaya kita akan menemukan di dalamnya pelanggaran terhadap petunjuk Rasul, orang yang kita shalawati. Di antara shalawat-shalawat bid’ah tersebut adalah:
1. Shalawat yang berbunyi: “Ya Allah, curahkanlah keberkahan dan keselamatan atas Muhammad, penawar hati dan ubatnya, penyihat badan dan penyembuhnya, cahaya mata dan sinarnya, juga atas keluarga-nya.”
Sesungguhnya yang menyembuhkan, menyihatkan badan, hati dan mata hanyalah Allah semata. Dan Rasulullah SAW tidak memiliki manfaat untuk dirinya, juga tidak untuk orang lain.
Lafaz shalawat di atas menyelisihi firman Allah yang maksudnya: “Katakanlah, ‘Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah.” (AI-A’raaf: 188)
Juga menyelisihi sabda Rasulullah SAW sendiri yang bermaksud: “Janganlah kalian berlebih-lebihan dalam memujiku sebagaimana orang-orang Nasrani berlebih-lebihan dalam memuji Isa bin Maryam. Aku hanyalah seorang hamba. Maka katakanlah Abdullah (hamba Allah) dan RasulNya.” (HR. Al-Bukhari)
Makna “ithra” iaitu melampaui batas dan berlebih-lebihan dalam memuji, (ini hukumnya haram).
2. Ada kitab tentang keutamaan shalawat, karya seorang syaikh sufi besar dari Lubnan. Di dalamnya terdapat lafaz shalawat berikut: “Ya Allah limpahkanlah keberkahan untuk Muhammad, sehingga Engkau menjadikan daripadanya (sifat) keesaan dan (sifat) terus menerus mengurus (makhluk).”
Sifat Al-Ahadiyyah dan Al-Qayyumiyyah adalah bahagian dan sifat-sifat Allah, sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran. Kemudian oleh syaikh tersebut, keduanya dijadikan sebagai sifat Rasulullah SAW.
3. Dalam kitab Ad’iyatush Shabaahi wal Masaa’i, karya seorang syaikh besar dari Suriah. Ia mengatakan, “Ya Allah, limpahkanlah keberkahan untuk Muhammad, yang dari cahayanya Engkau ciptakan segala sesuatu.”
“Segala sesuatu”, bererti termasuk di dalamnya Adam, lblis, kera, babi, lalat, nyamuk dan sebagainya. Adakah seorang yang berakal akan mengatakan bahawa semua itu diciptakan dari cahaya Muhammad?
Bahkan syaitan sendiri mengetahui dari apa ia diciptakan, juga mengetahui dari apa Adam diciptakan, sebagaimana dikisahkan dalam AI-Quran yang maksudnya: “Iblis berkata, ‘Aku lebih baik daripadanya, kerana Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan dia engkau ciptakan dari tanah.” (Shaad: 76)
Ayat di atas mendustakan dan membatalkan ucapan syaikh tersebut.
4. Termasuk lafaz shalawat bid’ah adalah ucapan mereka,
“Semoga keberkahan dan keselamatan dilimpahkan untukmu wahai Rasulullah. Telah sempit tipu dayaku maka perkenankanlah (hajatku) wahai kekasih Allah.”
Bahagian pertama dari shalawat ini adalah benar, tetapi yang berbahaya dan merupakan syirik adalah pada bahagian kedua. Yakni dari ucapannya:”Telah sempit tipu dayaku maka perkenankanlah (hajatku) wahai kekasih Allah.”
Hal ini bertentangan dengan firman Allah yang maksudnya: “Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepadaNya?” (An-Naml:
Dan firman Allah yang bermaksud: “Jika Allah menimpakan suatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang menghilangkannya melainkan Dia sendiri.” (Al-An’am: 17)
Sedangkan Rasulullah SAW sendiri, manakala beliau ditimpa suatu kedukaan atau kesusahan, beliau berdoa maksudnya:
“Wahai Zat Yang Maha Hidup, yang terus menerus mengurus (makhlukNya), dengan rahmatMu aku Memohon pertolongan-Mu.” (HR. At-Tirmizi, hadis hasan)
Jika demikian halnya, bagaimana mungkin kita diperbolehkan mengatakan kepada beliau, “Perkenankanlah hajat kami, dan tolonglah kami?”
Lafaz ini bertentangan dengan sabda Rasulullah SAW yang bermaksud: “Jika engkau meminta maka mintalah kepada Allah, dan jika engkau memohon pertolongan maka mohonlah pertolongan kepada Allah.” (HR. At-Tirmidi, ia berkata hadis hasan shahih)
5. Shalawat AI-Fatih, lafaznya: “Ya Allah, limpahkanlah keberkahan untuk Muhammad, Sang Pembuka terhadap apa yang tertutup …”
Orang yang mengucapkan shalawat ini menyangka, bahawa barangsiapa membacanya maka baginya lebih utama daripada membaca khatam Al-Quran sebanyak enam ribu kali. Demikian, seperti dinukil oleh Syaikh Ahmad Tijani, pemimpin thariqah Tijaniyah.
Sungguh amat bodoh jika terdapat orang yang berakal mempercayai hal tersebut, apatah lagi jika ia seorang
muslim. Sungguh amat tidak mungkin, bahawa membaca shalawat bid’ah tersebut lebih utama daripada membaca Al-Quran sekali, apatah lagi hingga enam ribu kali. Suatu ucapan yang tak mungkin diucapkan oleh seorang muslim.
Adapun menyifati Rasulullah SAW dengan “Sang Pembuka terhadap apa yang tertutup” secara mutlak, tanpa membatasinya dengan kehendak Allah, maka adalah suatu kesalahan. Kerana Rasulullah SAW tidak membuka kota Makkah kecuali dengan kehendak Allah. Beliau juga tidak mampu membuka hati bapa saudaranya sehingga beriman kepada Allah, bahkan ia mati dalam keadaan menyekutukan Allah. Bahkan dengan tegas Al-Quran menyeru kepada Rasulullah
SAW yang bermaksud: “Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendakiNya, …” (Al-Qashash: 56)
“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata.” (AI-Fath: 1)
6. Pengarang kitab Dalaa ‘ilul Khairaat, pada bahagian ke tujuh dari kitabnya mengatakan, “Ya Allah, limpahkanlah keberkahan untuk Muhammad selama burung-burung merpati berdengkur dan azimat-azimat bermanfaat.”
Tamimah iaitu tulang, benang atau lainnya yang dikalungkan di leher anak-anak atau lainnya untuk menangkal atau menolak ‘ain (kena mata). Perbuatan tersebut tidak memberi manfaat kepada orang yang mengalungkannya, juga tidak terhadap orang yang dikalungi, bahkan ia adalah di antara perbuatan orang-orang musyrik.
Rasulullah SAW bersabda maksudnya: “Barangsiapa mengalungkan azimat maka dia telah berbuat syirik”. (HR. Ahmad, hadits shahih)
Lafaz bacaan shalawat di atas, dengan demikian, secara jelas bertentangan dengan kandungan hadis, kerana lafaz tersebut menjadikan syirik dan tamimah sebagai bentuk ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah.
7. Dalam kitab Dalaa ‘ilul Khairaat, terdapat lafaz bacaan shalawat sebagai berikut: “Ya Allah limpahkanlah keberkahan atas Muhammad, sehingga tak tersisa lagi sedikit pun dari keberkahan, dan rahmatilah Muhammad, sehingga tak tersisa sedikit pun dari rahmat.”
Lafaz bacaan shalawat di atas, menjadikan keberkahan dan rahmat, yang keduanya merupakan bahagian dari sifat-sifat Allah, boleh habis dan binasa. Allah membantah ucapan mereka dengan firman-Nya yang bermaksud:
“Katakanlah, ‘Kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula).” (AI-Kahfi: 109)
8. Shalawat Basyisyiyah. lbnu Basyisy berkata, “Ya Allah, keluarkanlah aku dari lumpur tauhid. Dan tenggelamkanlah aku dalam mata air lautan keesaan. Dan lemparkanlah aku dalam sifat keesaan sehingga aku tidak melihat, mendengar atau merasakan kecuali dengannya.”
Ini adalah ucapan orang-orang yang menganut fahaman Wahdatul Wujud. Iaitu suatu fahaman yang mendakwakan bahawa Tuhan dan makhIukNya boleh menjadi satu kesatuan.
Mereka menyangka bahawa tauhid itu penuh dengan lumpur dan kotoran, sehingga mereka berdoa agar dikeluarkan daripadanya. Selanjutnya, agar ditenggelamkan dalam lautan Wahdatul Wujud. sehingga boleh melihat Tuhannya dalam segala sesuatu. Bahkan hingga seorang pemimpin mereka berkata, “Dan tiadalah anjing dan babi itu,melainkan keduanya adalah tuhan kita. Dan tiadalah Allah itu,melainkan pendeta di gereja. “
Orang-orang Nasrani menyekutukan Allah (musyrik) ketika mereka mengatakan bahawa Isa bin Maryam adalah anak Allah. Adapun mereka, menjadikan segenap makhluk secara keseluruhan sebagai sekutu-sekutu Allah!
Maha Tinggi Allah dan apa yang diucapkan oleh orang-orang musyrik.
Oleh kerana itu, wahai saudaraku sesama muslim, berhati-hatilah terhadap lafaz-lafaz bacaan shalawat bid’ah, kerana akan menjerumuskanmu dalam perbuatan syirik. Berpegang teguhlah dengan apa yang datang dari Rasulullah SAW, seorang yang tidak mengatakan sesuatu menurut kehendak hawa nafsunya. Dan janganlah engkau menyelisihi petunjuknya sebagaimana sabda yang bermaksud: “Barangsiapa melakukan suatu amalan (dalam agama) yang tidak ada perintah dari kami, maka ia tertolak.” (HR. Muslim)
SHALAWAT NARIYAH
Shalawat nariyah telah dikenal oleh banyak orang. Mereka beranggapan, barangsiapa membacanya sebanyak 4444 kali dengan niat agar kesusahan dihilangkan, atau hajat dikabulkan, nescaya akan terpenuhi.
Ini adalah anggapan batil yang tidak berdasar sama sekali. Apalagi jika kita mengetahui lafaz bacaannya, serta kandungan syirik yang ada di dalamnya.
Secara lengkap, lafaz shalawat nariyah itu adalah sebagai berikut:
“Ya Allah, limpahkanlah keberkahan dengan keberkahan yang sempurna, dan limpahkanlah keselamatan dengan keselamatan yang sempurna untuk penghulu kami Muhammad, yang dengan beliau terurai segala ikatan, hilang segala kesedihan, dipenuhi segala keperluan, dicapai segala keinginan dan kesudahan yang baik, serta diminta hujan dengan wajahnya yang mulia, dan semoga pula dilimpahkan untuk segenap keluarga, dan sahabatnya sebanyak hitungan setiap yang Engkau ketahui.”
1. Aqidah tauhid yang kepadanya Al-Quranul Karim menyeru, dan yang dengannya Rasulullah SAW mengajarkan kepada kita, menegaskan kepada setiap muslim agar meyakini bahawa hanya Allah semata yang kuasa menguraikan segala ikatan. Yang menghilangkan segala kesedihan. Yang memenuhi segala keperluan dan memberi apa yang diminta oleh manusia ketika ia berdoa.
Setiap muslim tidak boleh berdoa dan memohon kepada selain Allah untuk menghilangkan kesedihan atau menyembuhkan penyakitnya, bahkan meskipun yang dimintanya adalah seorang malaikat yang diutus atau nabi yang dekat (kepada Allah).
Al-Quran mengingkari berdoa kepada selain Allah, baik kepada para rasul atau wali. Allah berfirman yang maksudnya: “Katakanlah, Panggillah mereka yang kamu anggap (tuhan) selain Allah, maka mereka tidak akan mempunyai kekuasaan untuk menghilangkan bahaya daripadamu dan tidak pula memindahkannya. Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmatNya dan takut akan siksaNya; sesungguhnya siksa Tuhanmu adalah sesuatu yang (harus) ditakuti.” (Al-lsra’: 56-57)
Para ahli tafsir mengatakan, ayat di atas turun sehubungan dengan sekelompok orang yang berdoa dan meminta kepada Isa Al-Masih, malaikat dan hamba-hamba Allah yang shalih dan jenis makhluk jin.
2. Bagaimana mungkin Rasulullah SAW akan rela, jika dikatakan bahawa beliau berkuasa menguraikan segala ikatan dan menghilangkan segala kesedihan. Padahal Al-Quran menyeru kepada beliau untuk memaklumkan, “Katakanlah, ‘Aku tidak kuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, nescaya aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman.” (Al-A’raaf: 188)
“Seorang laki-laki datang kepada Rasululllah SAW lalu ia berkata kepada beliau, ‘Atas kehendak Allah dan kehendakmu.” Maka Rasulullah SAW bersabda, ‘Apakah engkau menjadikan aku sebagai sekutu (tandingan) bagi Allah?
Katakanlah, “Hanya atas kehendak Allah semata.” (HR. Nasaa’i, dengan sanad shahih)
Di samping itu, di akhir lafaz shalawat nariyah tersebut, terdapat pembatasan dalam masalah ilmu-ilmu Allah. Ini adalah suatu kesalahan besar.
3. Seandainya kita membuang kata “Bihi” (dengan Muhammad), lalu kita ganti dengan kata “BiHaa” (dengan shalawat untuk Nabi), nescaya makna lafaz shalawat itu akan menjadi benar. Sehingga bacaannya akan menjadi seperti berikut ini: “Ya Allah, limpahkanlah keberkahan dengan keberkahan yang sempurna, dan limpahkanlah keselamatan dengan keselamatan yang sempurna untuk Muhammad, yang dengan shalawat itu diuraikan segala ikatan…”
Hal itu dibenarkan, kerana shalawat untuk Nabi SAW adalah ibadah, sehingga kita boleh bertawassul dengannya, agar dihilangkan segala kesedihan dan kesusahan.
4. Kenapa kita membaca shalawat-shalawat bid’ah yang merupakan perkataan manusia, kemudian kita meninggalkan shalawat lbrahimiyah yang merupakan ajaran AI-Ma’sum?
AL-QURAN UNTUK ORANG HIDUP BUKAN UNTUK ORANG MATI
Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman yang maksudnya: “Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu, penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran.” (Shaad: 29)
>Para sahabat berlumba-lumba untuk mengamalkan perintah-perintah Al-Quran dan meninggalkan larangan-larangannya.
Kerana itu mereka menjadi bahagia di dunia mahupun di akhirat. Ketika umat Islam meninggalkan ajaran-ajaran Al-Quran, dan hanya menjadikannya bacaan untuk orang-orang mati, di mana mereka membacakannya di kuburan dan ketika ta’ziyah, mereka ditimpa kehinaan dan perpecahan. Apa yang diprihatinkan Rasulullah SAW dahulu, kembali menjadi kenyataan, sebagaimana dikisahkan Al-Quran yang bermaksud:
“Berkatalah Rasul, ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al-Quran ini sesuatu yang tidak diacuhkan’.” (AI-Furqan: 30)
Allah menurunkan Al-Quran untuk orang-orang hidup agar mereka mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Jadi, Al-Quran bukan untuk orang-orang mati. Mereka telah terputus segala amalnya. Kerana itu, pahala bacaan Al-Quran yang disampaikan (dihadiahkan) kepada mereka –berdasarkan dalil dari Al-Quran dan hadis shahih– tidaklah sampai kepada mereka, kecuali dari anaknya sendiri. Sebab anak adalah dari usaha ayahnya. Rasulullah SAW bersabda yang maksudnya: “]ika manusia meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali dari tiga perkara; shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shalih yang mendoakan kepadanya.” (HR. Muslim)
Allah berfirman yang bermaksud: “Dan bahawasanya seseorang tiada memperolehi selain apa yang telah diusahakannya.” (An-Najm: 39)
Ibnu Katsir dalam menyebutkan tafsir ayat di atas mengatakan, “Sebagaimana tidak dipikulkan atasnya dosa orang lain, demikian pula ia tidak mendapat pahala kecuali dari usahanya sendiri. Dari ayat yang mulia ini, Imam Syafi’i kemudian mengambil kesimpulan bahawa bacaan Al-Quran tidak sampai pahalanya, jika dihadiahkan kepada orang-orang mati. Sebab pahala itu tidak dari amal atau usaha mereka. Kerana itulah Rasulullah SAW tidak mengajarkan hal tersebut kepada umatnya, juga tidak menganjurkan atasnya, tidak pula menunjukkan kepadanya, baik dengan dalil nash atau sekadar isyarat. Yang demikian itu –menurut riwayat– juga tidak pernah dilakukan para sahabat.
Seandainya hal itu suatu amal kebaikan, tentu mereka akan mendahului kita dalam mengamalkannya. Perkara mendekatkan diri kepada Allah (ibadah) hanyalah melalui petunjuk dalil-dalil nash, dan tidak berdasarkan berbagai macam kias dan pendapat. Adapun doa dan shadaqah, maka para ulama sepakat mengatakan bahawa keduanya boleh sampai kepada orang-orang mati, di samping kerana memang ada dalil yang menegakkan tentang hal tersebut.”
1. Kini, membaca AI-Quran untuk orang-orang mati menjadi tradisi di kalangan majoriti umat Islam. Bahkan hingga membaca Al-Quran sebagai pertanda bagi adanya musibah kematian.
Jika dan sebuah pemancar siaran terdengar bacaan Al-Quran secara beruntun, hampir boleh dipastikan bahawa ada seorang penguasa atau pemimpin meninggal dunia. Jika anda mendengarnya dari sebuah rumah, maka akan segera anda ketahui bahawa di sana ada kematian dan dukacita.
Suatu ketika, seorang ibu mendengar salah seorang pembantu anaknya yang sedang sakit membaca Al-Quran. Serta-merta ibu itu berteriak, “Anak saya belum meninggal. Jangan bacakan Al-Quran untuknya!”
Kisah lain, seorang wanita mendengar surat Al-Fatihah dibacakan dari sebuah siaran radio, ia kemudian berucap,
“Saya tidak suka mendengarnya. Bacaan itu mengingatkan saya kepada saudara kandungku yang telah meninggal.
Ketika itu, dibacakan juga untuknya surat Al-Fatihah.” (Sebab pada dasarnya manusia membenci kematian dan hal-hal yang mengingatkan pada kematian).
2. Bagaimana mungkin Al-Quran boleh memberi manfaat kepada mayat, yang ketika masa hidupnya suka meninggalkan shalat? Bahkan AI-Quran sendiri malah memberinya khabar gembira dengan kecelakaan dan siksa.
Allah berfirman yang maksudnya: “Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (iaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya.” (Al-Maa’uun: 4-5)
Ayat dia tas berbicara tentang orang-orang yang suka meremehkan shalat dengan mengakhirkannya dan waktu yang sesungguhnya, apatah lagi jika ia meninggalkan shalat tersebut?
3. Adapun hadis, “Bacalah untuk para mayatmu surat Yaasiin.”
Menurut lbnu Qaththan, setelah melalui penelitian dengan cermat, hadis itu mudhtharib (kacau), mauquf (tidak sampai isnad-nya kepada Nabi), majhul (tidak diketahui). Dan Daruquthni mengatakan, hadis itu mudhtharib isnad-nya (para perawinya kacau, tidak jelas), majhul matan-nya (kandungan maknanya tidak diketahui) dan tidak shahih (hadis dha’if, lemah).
Tidak ada keterangan dari Rasulullah SAW, juga tidak dari para sahabat beliau bahawa mereka membacakan Al-Quran untuk mayat, baik bacaan surat Yaasiin, AI-Fatihah atau surat lainnya dari Al-Quran. Tetapi yang dianjurkan Rasulullah SAW kepada para sahabatnya, sesudah menguburkan mayat adalah, “Mohonkanlah ampunan untuk saudaramu, dan mintakanlah keteguhan (iman) untuknya, kerana sesungguhnya dia sekarang sedang ditanya.” (HR. Abu Daud dan lainnya, hadis shahih)
4. Salah seorang da’i berkata, “Celakalah engkau wahai orang (yang mengaku) muslim! Engkau meninggalkan Al-Quran di masa hidupmu dan tidak mengamalkannya. Hingga ketika engkau mendekati kematian, mereka membacakan untukmu surat Yaasiin, supaya kamu meninggal dengan mudah. Apakah Al-Quran diturunkan supaya kamu hidup atau supaya kamu mati?”
5. Rasulullah SAW tidak mengajarkan kepada para sahabatnya agar mereka membacakan surat Fatihah ketika masuk kuburan. Tetapi yang beliau ajarkan adalah agar membaca, “Semoga keselamatan tercurah untukmu wahai para penghuni kubur, dari orang-orang beriman dan orang-orang muslim. Dan kami, jika Allah menghendaki, akan menyusulmu. Aku memohon kepada Allah keselamatan untuk kami dan untuk kamu sekalian.” (HR. Muslim dan lainnya)
Hadis di atas mengajarkan, agar kita mendoakan orang-orang mati, bukan berdoa dan meminta pertolongan kepada mereka.
6. Allah menurunkan Al-Quran, agar dibacakan atas orang-orang yang mungkin mampu mengamalkannya. Dan tentu, mereka adalah orang-orang yang masih hidup
Allah berfirman yang maksudnya: “Supaya dia (Muhammad) memberi peringatan kepada orang-orang yang hidup (hatinya) dan supaya pastilah (ketetapan adzab) terhadap orang-orang kafir.” (Yaasin: 70)
Adapun orang-orang yang telah meninggal dunia, maka mereka tidak lagi boleh mendengar bacaan Al-Quran, dan tak mungkin mampu mengamalkan isinya.
Ya Allah, kurniailah kami untuk boleh mengamalkan Al-Quranul Karim, sesuai dengan jalan dan petunjuk Rasulullah SAW.
BERDIRI YANG DILARANG
Rasulullah SAW bersabda yang bermaksud: “Barangsiapa suka dihormati manusia dengan berdiri, maka hendaknya ia mendiami tempat duduknya di Neraka.” (HR. Ahmad, hadits shahih)
Anas bin Malik berkata, “Tak seorangpun yang lebih dicintai oleh para sahabat daripada Rasulullah SAW. Tetapi, bila mereka melihat Rasulullah SAw (hadir), mereka tidak berdiri untuk beliau. Sebab mereka mengetahui bahawa beliau membenci hal tersebut.” (HR. At-Tirmizi, hadis shahih)
Hadis di atas mengandungi pengertian bahawa seorang muslim yang suka dihormati dengan berdiri, ketika ia masuk suatu majlis, maka ia menghadapi ancaman masuk Neraka sebab para sahabat Radhiallaahu anhu yang sangat cintanya kepada Rasulullah SAW, bila mereka melihat Rasulullah SAW masuk ke dalam suatu majlis, mereka tidak berdiri untuk beliau Kerana mereka mengetahui bahawa Rasulullah SAW tidak suka yang demikian.
Orang-orang biasa berdiri untuk menghormati sebahagian mereka. Apalagi jika seorang syaikh (tuan guru) masuk untuk memberikan pelajaran, atau untuk memimpin ziarah ke tempat-tempat tertentu. Juga jika guru masuk ke ruang kelas, anak-anak segera berdiri untuk menghormatinya. Anak yang tidak mahu berdiri akan dikatakan sebagai tidak beradab, dan tidak hormat kepada guru.
Diamnya syaikh dan guru terhadap penghormatan dengan berdiri itu, atau peringatan terhadap anak yang tidak mahu berdiri menunjukkan syaikh dan guru senang dihormati dengan berdiri. Dan itu bererti –sesuai dengan nash hadis di atas– mereka menghadapi ancaman masuk Neraka.
Jika keduanya tidak suka penghormatan dengan berdiri, atau membencinya, tentu akan memberitahukan hal tersebut kepada para anak didik. Selanjutnya meminta agar mereka tidak lagi berdiri setelah itu. Lalu menjelaskan hal tersebut dengan menghuraikan hadis-hadis tentang larangan penghormatan dengan berdiri.
Membiasakan berdiri untuk menghormati orang alim atau orang yang masuk suatu majlis, akan melahirkan di hati keduanya kesenangan untuk dihormati dengan cara berdiri. Bahkan jika seseorang tidak berdiri, ia akan merasa gelisah. Orang-orang yang berdiri itu menjadi penolong syaitan dalam hal senang penghormatan dengan cara berdiri bagi orang yang hadir.
Padahal Rasulullah SAW bersabda maksudnya: “Janganlah kalian menjadi penolong syaitan atas saudaramu.” (HR. Al-Bukhari)
Banyak orang mengatakan, kami berdiri kepada guru atau syaikh hanyalah sekadar menghormati ilmunya. Kita bertanya, apakah kalian meragukan keilmuan Rasulullah SAW dan adab para sahabat kepada beliau, meski demikian mereka tetap tidak berdiri untuk Rasulullah SAW?
Islam tidak mengajarkan penghormatan dengan berdiri tetapi dengan ketaatan dan mematuhi perintah, menyampaikan
salam dan saling berjabat tangan. Kerananya, sungguh tak bererti apa yang disenandungkan penyair Syauqi,
“Berdirilah untuk sang guru, penuhilah penghormatan untuknya. Hampir sahaja seorang guru itu, menjadi seorang rasul (mulia).”
Sebab syair tersebut bertentangan dengan sabda Rasulullah SAW yang membenci berdiri untuk menghormat. Bahkan mengancam orang yang menyukainya dengan masuk Neraka.
Sering kita jumpai dalam suatu pertemuan, jika orang kaya masuk, semua berdiri menghormati. Tetapi giliran orang miskin yang masuk, tak seorang pun berdiri menghormat. Perlakuan tersebut akan menumbuhkan sifat dengki dihati
orang miskin terhadap orang kaya dan para hadirin yang lain. Akhirnya antara umat Islam saling membenci. Sesuatu yang amat dilarang dalam Islam. Musababnya, berdiri buat menghormati. Padahal orang miskin yang tidak dihormati
dengan berdiri itu, boleh jadi dalam pandangan Allah lebih mulia dari orang kaya yang dihormati dengan berdiri.
Sebab Allah berfirman yang maksudnya: “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu.” (Al-Hujurat: 13)
Mungkin ada yang berkata, “Jika kita tidak berdiri untuk orang yang masuk ke majlis, mungkin dalam hatinya terdetik sesuatu prasangka kepada kita yang duduk.”
Kita menjawab, “Kita menjelaskan kepada orang yang datang itu, bahawa kecintaan kita padanya terletak di hati.
Dan kita meneladani Rasulullah SAW yang membenci berdiri untuk penghormatan. Juga meneladani para sahabat yang tidak berdiri untuk beliau. Dan kita tidak menghendaki orang yang datang itu masuk Neraka.”
Terkadang kita mendengar dari sebahagian masyayikh (para tuan guru) menerangkan, bahawa Hasan, penyair Rasulullah SAW pernah menyenandungkan syair: “Berdiri untuk menghormatiku adalah wajib.”
Ini adalah tidak benar. Dalam hal ini, alangkah indah apa yang disenandungkan oleh murid lbnu Baththah Al-Hambali, ia bersyair,
Jika benar nurani kita, cukuplah.
“Kenapa harus badan berpayah-payah?
Jangan bebani saudaramu, saat bertemu,
dengan menghalalkan apa yang haram untukmu.
Setiap kita percaya, terhadap kecintaan murni saudaranya.
Maka, kerana dan atas dasar apa, kita menjadi gelisah?”
Sumber : Cahaya Imam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar